Minggu, 20 November 2016

Catatan Perjalanan : Perang menuju Puncak Gunung Parang

13 November 2016, adalah hari yang dinanti oleh saya daaaan... dia. Iya, diaaa. Setelah mengatur jadwal lebih dari satu bulan sebelumnya, akhirnya ketemu juga tanggal yang pas untuk kita nanjak bareng. Misi kita adalah foto di puncak gunung dengan view keren macam di bawah ini, biar bisa ganti foto profil whatsapp dan update di medsos. Hag hag hag.

Besoknya, langsung ganti foto prosil whatsapp pake foto ini :D (Me and Wulan)

Karena saya dan dia (wulan) adalah wanita yang perlu dimengerti, emaap, perlu dijaga maksudnya. Maka kami mengajak tiga pejantan tangguh untuk jadiii... teman perjalan kami :P

Here they are! (Kang Cipto, Kang Ari, and Kang Rendy)

Janjiannya sih, ketemu di meepo jam 7.00 tapi kenyataannya, jam segitu saya masih dandan di rumah, haha. Setelah nitip motor dulu di kostan Kang Ari, kemudian sarapan opor ayam Pak Mudji yang enak itu (endors, soalnya saya dapet voucher makan gratis sesuka hati) dulu di ruko Wulan, kita otw dari Karawang sekitar jam 9an. Ketemu Kang Rendy dan Kang Cipto di meepo Cikopo, kemudian langsung cuuusss ke gunung Parang yang terletak di Kabupaten Purwakarta.

Setelah mendaftarkan diri ke pos jaga dan membayar tiket masuk sebesar Rp 10.000/orang, kami langsung memulai penanjakan sekitar pukul setengah 12. Di awal banget, kamu akan melewati jalan tanah setapak yang tidak terlalu curam hingga ke pos 1. Dari start point ke pos 1 tidak terlalu jauh, tapi nafas saya sudah putus-putus kayak signal handphone di gunung. Duh, kerasa banget deh efek badan yang nggak pernah olah raga terus langsung diajak nanjak ke gunung. Dari pos 1 jalan sudah mulai menanjak, gerimis pun, jalannya jadi licin, harus ekstra hati-hati. Saya udah mulai kepayahan, lima langkah nanjak, diem, lima langkah nanjak, duduk, langkah udah berat, nafas apalagi.

Akhirnya Kang Cipto ngambil patahan kayu, “Nih, pegangan ke sini”. Saya megang ujung satunya dan dia megang ujung satunya lagi. Terus dia jalan di depan sambil narik kayu itu, narik saya sih sebenernya, hahaha. Kita sering berhenti di beberapa titik. Sebenernya kewalahan juga mengimbangi langkah Kang Cipto yang cepet banget (menurut versi saya), seringkali sambil engap-engapan saya bilang “Wait” “Tunggu” “Berhenti dulu” “Tunggu yang belakang”, padahal itu alesan aja dikala saya udah kepayahan, hehehe.

Di antara pos 1 dan pos 2, atau di antara pos 2 dan 3, saya lupa tepatnya, ada sebuah rumah pohon yang di atasnya kita bisa melihat view gunung-gunung sekitar. Tapi saya tidak naik ke atas karena sudah kehabisan tenaga. Padahal tempat itu bisa dijadikan backgruond yang keren untuk foto-foto ketjeh.



Sebenernya sih, di sepanjang perjalanan juga banyak spot-spot yang bagus untuk foto, tanjakan- tanjakan curam dan pepohonan membentuk terowongan yang menjadi background foto kami ini misalnya.



Sekitar jam 1, kami sampai di pos 3 dan langsung membuka bekal yang sudah dengan rempong Wulan siapkan. Menu makan siang kami adalah telor dan tahu balado, plus sayur kacang panjang. Yummyyy...!! Makan ngariung di saung pas lagi laper-lapernya ituuu.. Alhamdulillah banget :D



Oh iya, di pos 3 ini, selain ada saung, ada juga ayunan yang terbuat dari akar pohon, jadi nggak usah pakai hammock lagi. Ada juga rumah panggung yang kita manfaatkan untuk shalat dzuhur. Tapi hati-hati ya, jalan ke rumah panggung itu lewat batang-batang kayu sebagai jembatannya. Dan karena habis hujan, jadi tambah licin. Saya yang nyalinya ciut, nggak berani juga ke rumah panggung itu. Padahal bagus juga buat foto, huhuhuhu.

Ayunan akar

Rumah panggung like a flying house

Entah jam berapa kita melanjutkan perjalanan lagi, saya tidak begitu memerhatikannya. Di tengah perjalanan, kami bertemu rombongan yang turun. Padahal belum lama kami berpapasan dengan mereka di pos 3.
“Sudah sampai puncak, teh?”
“Belum, turun lagi. Hujan di atas. Anginnya juga gede. Jadi kami turun lagi.”
Eng... ing... eng... bad news buat kami. Karena emang cuaca juga lagi nggak bagus. Gerimis terkadang menyertai perjalanan kami. Langit sudah mendung gelap. Tapi kami belum mau menyerah. Kami putuskan untuk tetap lanjutkan perjalanan, setidaknya sampai puncak bayangan.

All member di puncak bayangan
Sekitar jam setengah 3 kami sampai di puncak bayangan. Setelah berfoto-foto sebentar, kami memutuskan untuk mencoba melanjutkan perjalanan ke puncak yang sesungguhnya. Tracknya menurun dengan jurang-jurang di sampingnya, lalu tanjakan curam menuju puncak. Honestly, saya tidak yakin bisa ke puncak, tapi karena dibersamai oleh teman-teman yang pasti akan membantu saya, saya akhirnya meng-iya-kan juga keputusan untuk lanjut jalan ke puncak.

Tapi, baru beberapa meter kita berjalan, cuaca semakin memburuk. Langit sudah gelap siap menumpahkan air hujan, petir-petir dan kilat semakin kerap, kabut semakin pekat. So, dengan berat hati, kami kembali lagi ke puncak bayangan.

Gagal muncak, bukan berarti kami harus bermuram durja. Kang Ari yang membawa lay back langsung mensettingnya. Saya yang membawa bekal dessert langsung mengeluarkannya; puding cokelat dan strawberry. Dalam sekejap, suasana menjadi cerah kembali. Meskipun cuaca semakin menjadi, hujan semakin deras mengguyuri tempat kami. Untungnya, di puncak bayangan ini ada bivak untuk tempat pendaki berteduh.

Dessert time!! :D

Dari sisi positivenya, cuaca yang demikian membuat pemandangan Gunung Parang semakin mempesona. Kabut yang turun menutupi gunung, membuat pemandangan di sini mirip dengan hutan mati di gunung papandayan. Eksotis!



Selain itu, kami juga bisa meminimalisir konsumsi air minum. Padahal sebelumnya kami sudah khawatir karena persediaan air yang kami bawa sudah hampir habis dipakai untuk pendakian. Saya kira, kondisi Gunung Parang ini tidak jauh dari Gunung Lembu; di pos dan puncak akan ada beberapa warung yang berjualan air dan makanan. Makanya saya hanya membawa satu botol kecil air mineral (padahal selama pendakian saya menghabiskan tidak kurang dari 3 botol air).  Tapi ternyata, di sini sama sekali tidak ada warung, kecuali di pos awal pendakian. Jadi, saran saya bagi yang ingin nanjak ke sini, siapkan bekal minum yang cukup ya.

Jam setengah 4 kami memutuskan untuk turun, meski hujan masih belum berhenti turun. Kami harus bersegera karena di antara kami tidak ada yang membawa alat penerangan, sementara matahari sudah mau terbenam. Bismillah... kami memulai menuruni bebatuan dan tanah licin yang curam. Tapi saya yakin…

“Tuhan bersama para petualang di tebing-tebing tinggi, di puncak-puncak gunung sunyi dan dilebatnya belantara sepi.
(Bara -  Febrialdi R.)

Beberapa kali, semua bergantian terjatuh, dan yang memegang rekor paling sering adalah... saya! Hag hag hag. Saya tiga atau empat kali terjatuh, selain medan yang memang sangat licin, kaki saya juga sudah mulai lemas dan sulit untuk menahan beban tubuh saya yang tidak bisa dibilang langsing ini :P

Saya kembali “dituntun” oleh Kang Cipto. Di belakang saya ada Kang rendy yang pada waktu waktu tertentu bisa di “calling” sama Wulan untuk membantunya. Di barisan sapu bersih ada Kang Ari. Bagi saya, Wulan, Kang Rendy dan Kang Ari, ini bukan perjalanan bersama kita yang pertama. Sebelumnya, kita juga pernah ke Curug Lalay bersama rombongan Backpacker Karawang. Baca catatan perjalanan kami ke Curug Lalay di sini.

Sementara, untuk Kang Cipto, ini perjalanan pertamanya bersama kami. Saya, Wulan, dan Kang Ari, baru mengenal Kang Cipto kali ini. Dia adalah teman satu kerjaan Kang Rendy. Tapi walaupun baru kenal, sumvah deh nih orang baik banget. Bayangin aja hampir 4/5 perjalanan dia narik-narik saya. "Nuntun" saya yang payah. Yang kalo liat tanjakan curam di depan mata, langsung berhenti, terus bilang “Ini gimana cara naiknyaaaa??!!” Sementara dia yang katanya baru pertama kali ini naik gunung, jalan di depan untuk memastikan jalur yang akan kami lewati aman, sebentar sebentar “awas ya, hati-hati di sini licin banget”, “jangan lewatin tanah ini”, “napak ke akar ini, ya”, “jangan nginjek batu itu”, “posisi kakinya kayak gini, ya”. Pokoknya nice to meet you, Kang! Jangan kapok ya nanjak bareng kita lagi.

Perjalanan mengajarkan bahwa orang baik itu (tidak) sedikit
(Bara -  Febrialdi R.)

Finally, Alhamdulillah, sekitar jam 5 kurang kami sudah sampai pos awal pendakian. Lumayan cepat, kerena kami tidak banyak beristirahat. Sesampainya, kami langsung bersih-bersih dan bergantian shalat ashar. Jam setengah 6 kami pulang, setelah sebelumnya janjian untuk berhenti dulu di tempat makan bakso. Badan yang sedari tadi diguyur hujan membuat perut kami mulai keroncongan lagi.

Di perjalanan pulang, Kang Ari yang menyaksikan bagaimana payahnya saya “berperang” menuju puncak Gunung Parang mengajukan satu pertanyaan.
“Nggak kapok teh, nanjak?”
“Hahaha. Nggak. Seruuu!”
“Nanti ikut lah ke Lawu!”  (9-11 Desember mendatang Backpacker Karawang akan mengadakan trip ke Gunung Lawu dan city tour Solo, info lebih lanjut cek facebook dan instagram Backpacker Karawang yaa!)
“Nggak dulu, deh. Gunung Parang yang cuma 900-an (mdpl) aja kepayahan kayak tadi, apalagi Lawu. Maunya ke yang landai-landai dulu aja, kayak Prau sama Papandayan. Kalo di awal udah langsung yang hampir 3000-an (mdpl) takut nyusahin banyak orang dan malah kapok nggak mau nanjak lagi.”

Ah, semogaaa, tahun depan bisa nanjak lagi, ke Prau, Papandayan, dan Bromo. Aamiin.. Sementara belum bisa nanjak gunung-gunung nan gagah menjulang tinggi itu, sekarang saya lagi seneng baca buku-buku pendakian, macam Bara karya Febrialdi R (@edelweisbasah) dan Pejalan Anarki karya Jazuli Imam. Nantikan resensi bukunya yaaa!!

Sincerely,

Riana Yahya

Senin, 29 Agustus 2016

Ephemera, Karena Jatuh Cinta dan Patah Hati Hanya Sementara

Far to many emotions that taint my soul before my faith,
And often I drown in the moment
When in the end, they’re all ephemera



Ahimsa Azaleav, dengan cerita-cerita ringan dan sangat membuminya berhasil sekali membuat saya berkali-kali menghela nafas panjang. Seolah kata-kata yang ditulis dalam bukunya memang ditujukan kepada saya. Hehehe. Ge-er banget ya saya?!

Tapi seriusan deh, kamu harus baca, beli bukunya atau pinjem kaya saya, hehehe. Dari 19 cerita dalam buku ini, saya yakin kamu akan menemukan paling tidak satu cerita yang “kamu banget”. Karena cerita-cerita di buku Ephemera ini memang kisah sehari-hari yang biasa kita temukan, atau pernah kita alami malah.

Misalnya, “PHP My Story” berkisah tentang cowok yang seakan memberi kode buat kita, tapi tetiba nikah sama cewek lain. “Langit” berkisah tentang cewek yang berharap lebih ketika cowok yang dikaguminya merespon, padahal belum tentu juga cowok itu ......*isi sendiri titik-titiknya yah :P “Ephemera” berkisah tentang friendzone yang jadi merumit ketika benih-benih rasa lainnya hadir.

Cerita favorit saya? Sepertinya jatuh pada kisah berjudul “Saya, Jatuh Cinta” dan sebuah prosa berjudul “Kamu”.

“Bisa jadi perasaanmu justru menjadi penghalangmu untuk bertemu dengan jodoh sejatimu. Bersihkanlah hatimu. Nanti, kalau Tuhan mempertemukanmu dengan jodoh sejatimu, kau bisa melihat semuanya dengan lebih jernih. Aku tidak melarangmu jatuh cinta. Tapi jika jatuh cinta membuatmu terbang, berharap penuh angan, padahal semuanya sebenarnya biasa saja, lebih baik engkau kelola perasaanmu lagi. Tanyakan lagi, apakah benar itu jatuh cinta, kagum yang berlebihan, atau apa? Sementara dia yang katanya kau ‘jatuhi’ cinta sama sekali bukan (belum) jadi siapa-siapamu. Kembalilah. Jangan terbang terlalu tinggi.” (Penggalan “Saya, jatuh cinta” dalam buku Ephemera halaman 71-21)

“Ajari aku untuk tidak bahagia saat hurufmu menyapa. Atau beritahu aku rahasia agar tak menangis saat teringat bahwa ada dia dalam tiap langkahmu. Ajari aku agar semangatku tak berlipat saat tahu kamu masih mengingat mimpiku. Atau beritahu aku rahasia agar tak menangis saat teringat kamu juga yang pernah memukul semua semangatku. Ajari aku untuk tidak tersenyum saat teringat setiap jengkal kenangan. Atau beritahu aku rahasia agar tidak menangis saat teringat bahwa harapan itu tak boleh ada. Ajari aku untuk tahu diri. Atau beritahu aku rahasia agar tahan berpura-pura. Sungguh aku tak berhenti berdo’a untuk sebuah kerelaan. Sungguh aku tak pernah lelah berharap pada Sang Pemilik Hati saja. Sungguh aku bahkan telah memangkas habis semua harapan padamu. Sungguh aku telah berupaya untuk tahu diri” (Penggalan “Kamu” dalam buku Ephemera halaman 141).

Ephemera. Buku ini mengajarkan kita untuk menginsyafi bahwa jatuh cinta ataupun patah hati, ketika kita bisa menerimanya dengan sepenuh penerimaan, penerimaan yang baik, kemudian kita belajar dari semua itu, maka tidak akan ada yang sia-sia. Semua akan menjadikan kita pribadi yang lebih kuat. Semua akan menjadi media untuk kita lebih mengenal dan mendekat kepada-Nya yang telah menuliskan skenario hidup kita. Karena jatuh dan patah hatinya kita, terbolak-baliknya hati kita, bukan hal sulit bagi Dia yang Maha Kuasa. Lalu sudah jelaslah semua, pada siapa seharusnya kita hanya berharap dan bergantung.

Seincerely,

Riana Yahya

Rabu, 10 Agustus 2016

Habibie: Sang Inspirator Anak Bangsa

Tak bisa dipungkiri, sosok Bachruddin Jusuf Habibie adalah salah satu sosok inspirator bagi anak negeri. Kecintaannya kepada Indonesia terwujud dalam pemikirannya untuk membangun negeri gemah ripah ini. Tak akan habis diskusi untuk membicarakan bapak bangsa satu ini. Paduan kecerdasannya yang melangit dan kepribadiannya yang membumi membuat banyak orang terpesona pada Eyang, begitulah kini ia banyak dipanggil orang.

Minggu, 7 Agustus 2016 lalu, saya dan tiga orang kawan dari FLP Karawang berkesempatan menghadiri acara bincang buku Habibie The Series dan diskusi publik bertajuk “Menggali Inspirasi dari 80 tahun Habibie”. Acara tersebut merupakan salah satu acara dari rangkaian kegiatan Pameran foto Habibie dan gebyar aneka lomba yang diselenggarakan berbagai komunitas yang tergabung dalam Friends of Museum. Pameran ini dibuka untuk umum mulai 24 Juli 2016 hingga 21 Agustus 2016 di Museum Bank Mandiri, Kota Tua – Jakarta Barat.

Bertempat di Aula besar Museum Bank Mandiri, diskusi sesi satu bertema “Kunci Sukses Eyang Bangsa; Mengulik Kepribadian Eyang Habibie dalam Meraih Sukses” dimulai pukul 10.00 hingga 12.00 WIB dengan Mas Bo’im Lebon (Penulis serial Lupus dan pegiat FLP Jakarta) sebagai moderator acara. Hadir sebagai pembicara adalah Bapak Andi M. Makka, mantan Pemred Harian Republika yang kini aktif dalam Tim Habibie Center, dan Bapak Sutanto Sastraredja, Dosen UNS Solo yang juga menjadi bagian dalam tim penulis buku Habibie The Series.


Mas Bo’im Lebon (kiri), Pak Andi M. Makka (tengah) dan Pak Sutanto Sastraredja (kanan)

Pak Andi sebagai pembicara pertama menuturkan bahwa buku Habibie The Series ini bukanlah buku perdana yang ia tulis tentang Habibie. “Saya menulis untuk Pak Habibie sejak beliau berumur 50 tahun,” ingatnya. Buku setebal 600-an halaman itu diberi judul Setengah Abad Prof.DR.B.J.Habibie. “Pak Habibie tidak tahu kalau saya menulis buku itu, hingga pada hari ulang tahunnya saya secara diam-diam menyerahkan buku itu pada beliau sebagai surprise,” ceritanya lagi.

Selanjutnya, setiap satu dasawarsa Pak Andi berusaha untuk tidak absen menulis kisah tentang Habibie. Naas, di ulang tahun Pak Habibie ke 80 ini, beliau baru ingat kalau Pak Habibie akan berulang tahun pada H-2 bulan. Semua tahu bahwa waktu 2 bulan adalah waktu yang amat sangat singkat untuk melahirkan sebuah buku. Sulit untuk merealisasikannya jika dikerjakan seorang diri. Hingga bertemu-jodohlah Pak Andi  dengan tim penulis Tiga Serangkai dan lahirlah buku Habibie The Series.

Buku Habibie The Series yang terdiri dari 8 seri itu resmi diluncurkan di kediaman Pak Habibie di bilangan Patra, Kuningan pada tanggal 23 Juni 2016 lalu. Dua hari sebelum ulang tahun Pak Habibie ke- 80 tahun yang jatuh pada 25 Juli. Seri pertama yang berjudul Jangan berhenti (Jadi) Habibie menceritakan bakti seorang Habibie pada negeri tercintanya. Seri kedua Habibie: Jejak Sang Penanda Kebangkitan menceritakan kebangkitan Habibie di Indonesia setelah pulang dari perantauan di Jerman. Di seri ketiga Habibie: Karya Nyata untuk Indonesia dan keempat Habibie: Totalitas Sang Teknosof, Eyang Habibie ikut andil membagikan kisah inspiratifnya secara langsung kepada pembaca.

Pada seri kelima, Habibie: Musik, Film, dan Kegemaran berisi sisi personal mantan Presiden RI ke-3 ini. Siapa sangka bahwa Eyang dan istrinya Bu Ainun adalah salah dua penggemar sinetron Cinta Fitri? Saking tidak ingin melewatkannya, jika Eyang ada kunjungan ke luar negeri, Pak Manoj Punjabi (produser sinetron tersebut) akan menyerahkan copyan file episode selanjutnya yang bahkan belum tayang di televisi. Seri keenam, Habibie: Makna di Balik Lensa berisikan foto hasil bidikan Pak Habibie. Pak Andi sempat bercerita bahwa Eyang sangat suka memoto awan saat beliau sedang berada di pesawat. Dalam seri ketujuh, Ainun: Mata Cinta Habibie berisikan foto dan kisah-kisah tentang wanita yang sangat dicintai Pak Habibie, siapa lagi kalau bukan istrinya yang setia menemani Eyang hingga habis masa hidupnya di dunia. Kemudian, seri kedelapan dan juga terakhir, Habibie dalam Komik, Puisi, dan Surat adalah wujud apresiasi masyarakat luas kepada sosok Habibie yang banyak menginspirasi mereka.

Sementara, memulai penuturannya, Pak Sutanto, pembicara kedua dalam diskusi tersebut membacakan sedikit tulisannya yang tertera dalam buku Habibie The Series seri pertama. “Habibie adalah sebuah fungsi (Habibie is a function) yang mungkin gagal dipahami saat ini, tapi tidak nanti.”
“Dulu,” tambah Pak Sutanto ingin menjelaskan arti kalimat yang baru saja ia bacakan, “waktu Pak Habibie turun dari jabatannya sebagai Presiden, keluar dari gedung DPR dengan tidak diterima leporan pertanggungjawabannya, saya masih kecil, masih belum bisa apa-apa selain shalat dan berdo’a sambil menangis.” Memang, sewaktu menjabat sebagai Presiden RI banyak yang meragukan kemampuan teknokrat jenius satu ini. Untuk membuat sebuah pesawat mungkin Habibie bisa, tapi untuk memimpin sebuah negara?

“Padahal,” lanjut Pak Sutanto, “selama masa jabatannya yang hanya 512 hari itu, Pak Habibie sudah meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai 12,5%.” Kemudian lulusan S3 Matematika Terapan Universite Bordeaux 1 France itu menjabarkan Rule of Seventy.

“Waktu yang dibutuhkan sebuah pemimpin untuk memakmurkan sebuah negeri, mengubah sebuah negara tertinggal menjadi negara berkembang, atau mengubah sebuah negara berkembang menjadi negara maju dapat dirumuskan dengan Rule of Seventy ini, 70 / (%pertumbuhan ekonomi). Jadi misalkan pertumbuhan ekonomi negara X adalah 7%, maka dibutuhkan waktu 10 tahun (hasil dari 70/7=10) untuk mengubah negara X tersebut. Nah, ini Pak Habibie mencapai 12,5%, hanya dibutuhkan 5,6 tahun (hasil dari 70/12,5=5,6) untuk mengubah Indonesia. ” Terlihat sekali ekspresi greget dari penggemar Habibie satu ini ketika menyampaikan penjelasannya. Terlihat sekali kekecewaan, Ah, kenapa Pak Habibie harus turun pada saat itu, coba lanjut satu periode lagi. Sudah menjadi rahasia umum mungkin, bahwa kemampuan Pak Habibie lebih dihargai di negara luar dari pada negerinya sendiri pada waktu itu.

Tidak banyak memang yang paham akan pemikiran Pak Habibie pada masa itu. Di saat ekonomi negara kita masih tiarap, infrastruktur masih sangat minim, pria yang pernah menjabat sebagai Menristek ini muncul dengan proyek pembuatan pesawat terbang. Beliau yang sudah sangat visioner pada masa itu, mungkin masih sangat sulit dipahami ide melangitnya. Bahwa Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau ini sangat butuh moda transportas cepat macam pesawat untuk menunjang kegiatan-kegiatan baik ekonomi, sosial-budaya, hingga pertahanan dan keamanan. Kita bisa saja membeli pesawat buatan negara lain seperti yang kita lakukan saat ini, tapi coba bayangkan jika.... Jika saja proyek pesawat N250 dan IPTN berlanjut, kita bisa memproduksi pesawat secara massal, tidak perlu bergantung kepada negara lain, bahkan kita dapat menjualnya ke negara-negara lain, menjadikannya sebagai industri strategis bagi Indonesia. Aaaah.. mungkin kita tidak akan punya hutang luar negeri yang menumpuk seperti sekarang ini, hehehe.

Ya, pemikiran Habibie memang banyak digagal-pahami dulu. Berapa banyak hujatan dan pandangan sebelah mata untuk eyang romantis satu ini? Tapi itu dulu. Kini, berapa banyak apresiasi dan kekaguman yang ditujukan untuk beliau? Berapa banyak anak muda yang terinspirasi oleh visi besarnya, karya nyatanya, bahkan tulus nuraninya?


Sincerely,


Riana Yahya 

Rabu, 27 April 2016

Kelas Inspirasi Karawang: Sekali Menginspirasi, Selamanya Memberi Arti!

Apa itu Kelas Inspirasi? Sebelumnya, saya juga belum pernah mendengar tentang kegiatan volunteer ini. Sampai, pada suatu ahad di akhir Maret, beberapa teman saya menggelar pameran foto Kelas Inspirasi (KI) di Lapangan Karangpawitan, Karawang. Disana, saya dijelaskan secara singkat apa itu KI, yang ternyata dicetuskan oleh Indonesia Mengajar. Singkatnya, KI adalah kegiatan volunteer yang mengajak para profesional dari berbagai bidang iuran cuti satu hari untuk mengajar di Sekolah Dasar (SD) tentang profesi mereka sehari-hari. Harapannya, agar para siswa memiliki lebih banyak pilihan cita-cita serta termotivasi untuk memiliki mimpi yang besar. Mulia kan? Karena itu saya langsung berminat untuk bergabung di KI Karawang.

(Pameran Foto Kelas Inspirasi Karawang)

Saya tergabung sebagai fasilitator, yang bertugas memfasilitasi atau menghubungkan pihak sekolah dengan para relawan pengajar (relpeng). Berkoordinasi dengan pihak sekolah mengenai acara Hari Inspirasi pada tanggal 11 April, memohon izin Kegiatan Belajar Mengajar ditiadakan selama sehari dan diganti dengan para relawan pengajar yang akan mengajar bergantian, berkeliling ke kelas-kelas. Berkoordinasi juga dengan para relpeng, akan bagaimana opening, closing, properti yang dibutuhkan, dan sebagainya.

Hingga akhirnya, D-Day, hari yang ditunggu-tunggu 11 April 2016 pun tiba. Saya bersama para relpeng sudah standby di SDN Karangmulya II (Teluk Jambe Barat, Karawang) pada pukul 6.45 tapi belum ada satu pun guru yang datang. Sementara, saya perhatikan anak-anak sedari tadi sibuk memindahkan bangku dari kelas satu ke kelas lainnya. Ada apa ini?

Ketika saya lihat ke kelas, ternyata tidak ada satu pun meja dan kursi di beberapa kelas. Meja dan kursi hanya terkonsentrasi di dua kelas saja. Ternyata, meja dan kursi bekas acara Isra’ Mi’raj pada hari sabtu 9 April lalu belum dirapihkan, jadilah seperti ini keadaannya. Waduh, saya langsung panik. 15 menit lagi sudah akan upacara, dan selesai upacara para relpeng dijadwalkan langsung mengajar ke kelas-kelas, bagaimana jika kondisi kelasnya masih kacau seperti ini?

Dengan PD (baca:ga tau malu) saya masuk ke kelas-kelas, “Yuk, yang cowok-cowok angkut bangku sama meja dari kelas 3 sama 4 yaa! Yang cewek sapu lantai, sama pungutin sampah yang ada di bawah yaaa!” “Iyaaa, buuuuu...!!” seru mereka. Hahaha. Dikira saya guru baru kali ya? Yang baru dateng ke kelas malah saliman ke saya! -,-“

Alhamdulillah, jam 7 guru-guru mulai berdatangan dan kondisi kelas sudah kondusif. Beberapa masih ada yang menyapu halaman sekolah dan menyiapkan peralatan untuk upacara yang akan berlangsung sebentar lagi. Sekitar jam 7.30 upacara dimulai. Yang menjadi petugasnya adalah siswa kelas 5. Aaaaak... akhirnya, setelah sekian lama nggak upacara, ngerasain lagi khidmatnya berjemur di senin pagi. 

(Kerja bakti bersama menyapu halaman sekolah)

(Upacara bendera berlangsung khidmat) 

Ada kejadian lucu waktu upacara ini. Mungkin karena saking lamanya nggak upacara kali ya, hahaha. Pas pemimpin upacara bilang “Kepada bendera merah putih, hormaaaaat grak!” saya dan Kang Hafidz (salah satu relpeng) langsung hormat dong, daaaaan... dengan jiwa nasionalisme yang tinggi nyanyi keras-keras, “Indoneasia, tanah airku...” tapi nih bocah-bocah dibarisan nggak ada yang nyanyi satu pun. OMG! Ternyata yang nyanyi cuma paduan suara aja! Yang lain cuma hormat dan mendengarkan dengan khidmat. Asli, maluuuuu pisaaaaan! :D


Selesai uparaca, ada sesi perkenalan dan pembukaan. Total ada 6 Relawan Pengajar, 1 Relawan Dokumentasi, dan 2 Relawan Fasilitator. Saya kenalin satu-satu ya kakak-kakak ketjeh badai ini :3

(Para Relawan Pengajar)

Yang no.1 namanya Kak Hafiza Duta Praja Pranata, biasa dipanggil Kak Hafiz. Berprofesi sebagai Channel Development. Ini ke-4 kalinya Kak Hafiz ikutan KI, setelah KI Lombok, Jakarta, dan Bandung. Karena itu beliau kita kukuhkan sebagai ketua rombongan belajar (rombel) kita :))

No.2 namanya Kak Alfin Tofler, biasa dipanggil Kak Alfin. Berprofesi sebagai redaktur, wartawan juga, photographer juga. Multi tasking sih Kak Alfin ini, selain jadi relpeng juga merangkap jadi relawan dokumentasi (reldok). Kece-kece banget  fotonya!! Ga percaya? Cek IG nya deh  @alfintofler

Yang No.3 namanya Kak Hayu Winjar Winanti, biasa dipanggil Kak Ayu. Berprofesi sebagai Pengolah Data Aplikasi Dan Database di Kantor Imigrasi Karawang. Asli Bandung. Cantik, kan? Masih available loh, hehehe *promosi*

No.4 ini namanya Pak Suhandi. Beliau pensiunan PT.Telkom di bidang IT. Meski sudah sangat dewasa (saya nggak bilang tua loh paaak :D) tapi semangatnya Masyaa Allah, keren banget!! Beliau juga membuatkan blog untuk SDN Karangmulya II, check this out http://sdn-karangmulya2-karawang.blogspot.co.id/ 

Yang No. 5 namanya Pak Dr. Rer. Nat. Ditdit Nugeraha Utama, biasa dipanggil Pak Ditdit. Berprofesi sebagai Dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Kalo saya nggak salah, di fakultas sains dan teknologi, mengajar mata kuliah Teknologi Informasi. Kalo salah, mohon dimaafkan ya, pak.

No.6 namanya Kak Lusiana Pitaloka Putri, biasa dipanggil Kak Lusi. Berprofesi sebagai guru SDIT. Orangnya pendiem, tapi kalo udah di depan anak-anak seperti jadi pribadi yang berbeda, langsung cair dan ceria. Hebaaat!!

Nah, itu keenam relawan pengajar di rombel kami. Tapi ada lagi nih yang saya mau kenalin. Kalo nggak ada orang ini, nggak ada foto-foto kece kegiatan KI di SDN Karangmulya II. Yup, Kak Irvan Ika Putra, biasa di panggil Kak Irvan adalah reldok satu-satunya di rombel kami. Beliau berprofesi sebagai apoteker di Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang. Hobinya travelling hunting foto-foto bagus. Cek foto-fotonya di IG @irvan_ip (bayar royalti yaaa udah aku promosiin :P)

(Kak Irvan (Reldok) - atas, Mbak Isa -kiri, dan saya -Kanan)

Dan, the last but not least, jerengjreng... Dia adalah mbak Isa. Fasilitator yang sangat membantu saya menyiapkan segala properti, survey ke sekolah, rempong ngurusin ini-itu. Nggak kebayang kalo saya melakukan semuanya sendiri. Fortunately, ada Mbak Isa yang membantu saya. Terima kasih, Thank you, Syukran, Gracias, Gamsahamnidaaaa!! :*

Back to the story, selesai upacara dan perkenalan, semua masuk kelas masing-masing. Setiap  relpeng sudah dijadwalkan akan rolling pindah ke kelas lainnya setiap 30 menit sekali. Yuk, kita intip gimana kakak-kakak ketjeh ini beraksi di kelas ;)

(Relpeng in action)
Jam 9.30 waktunya kelas 1 dan 2 untuk pulang. Sebagai closing, kami menyiapkan kain putih kosong untuk mereka bermain warna, mengecap tangan mereka dengan memakai cat air. Berani kotor itu baik! ;)

(Cap Tangan)

Jam 11.30 waktunya closing untuk kelas 3-6. Mereka menuliskan cita-cita mereka di pohon cita-cita yang nantinya ditempel di depan kelas mereka. Semoga saja, dengan begitu, ketika setiap pagi mereka melihat ke pohon cita-cita itu, mereka akan semakin termotivasi untuk merealisasikan cita-cita mereka itu.

(Pohon cita-cita)

Selain pohon cita-cita, kelas 3-6 juga menuliskan cita-citanya di kertas kecil yang kemudian digulung dan dimasukkan ke dalam toples. Kami menyebutnya “Kapsul Cita-Cita”. Kapsul ini digantungkan di atas pohon depan sekolah. Suatu saat nanti, mungkin 10 tahun kemudian, ketika mereka sudah mulai tumbuh dewasa, mereka akan membuka lagi kapsul itu, dan menemukan cita-cita mereka sewaktu SD. Semoga beberapa sudah terwujud. Tapi mungkin beberapa akan tertawa melihat cita-cita SD nya yang sangat mainstream. Seperti saya yang tertawa mengingat cita-cita sewaktu saya SD dulu, ingin menjadi astronot. Padahal, semenjak SMP sudah alergi dengan Fisika :))

(Kapsul cita-cita)

Tapi, pada masa-masa SD kalian tidak perlu khawatir apakah cita-cita itu akan terlaksana atau tidak. Bermimpi saja! Karena masa-masa SD itu masa dimana kepolosan menjadi kebahagiaan tak terkira. Semua kekhawatiran itu, biar saja dihadapi  ketika kita beranjak dewasa nanti. Sekarang, bermimpi saja setinggi-tinggi nya, Dik! Entah itu jadi presiden atau sekjen PBB. Entah itu astronot atau dokter. Ucapkan dengan lantang dan penuh percaya diri! Belajar sungguh-sungguh hingga cita setinggi langit itu lama-lama akan merendah mendekat padamu, atau kamu yang semakin tinggi hingga mendekat padanya. Semoga kedatangan kami yang singkat dapat memberi sedikit arti di dalam kehidupan kalian, adik-adik SDN Karangmulya II!



(Bersama adik-adik SDN Karangmulya II)

Special thanks to Kepala Sekolah SDN Karangmulya II beserta semua guru-guru cantik nan ramah. Terima kasih banyak atas sambutan yang luar biasa ini, para pahlawan tanpa tanda jasa!

(Bersama guru-guru SDN Karangmulya II)


Sincerely,
Riana

Kamis, 17 Maret 2016

Cinta adalah Perlawanan

Cinta adalah perlawanan, sebuah memoar perjalanan cinta dua insan yang darinya muncul berbagai keinsyafan;
Bahwasaya cinta adalah kesiapan. Kesiapan untuk menjaga, merawat, dan menumbuhkan.
Bahwasanya cinta adalah keberanian. Keberanian untuk mengungkapkan dan mengambil tanggung jawab.

Cinta adalah perlawanan, menyajikan kisah dua manusia lugu dalam pencarian mereka akan makna cinta, berbalut berbagai hikmah;
Bagaimana rasa dan kekaguman itu ditutup dalam diam ketika kesiapan dan keberanian belum di tangan.
Bagaimana penantian dan rindu yang pilu itu dipendam seiring pemantasan diri untuk bersanding dengannya yang didamba.

Cinta adalah perlawanan, sebentuk ekspresi cinta mulia, yang membuat para pembacanya kadang ikut tersipu malu ketika membayangkan ia adalah tokoh utama dalam tulisan tersebut;
Ketika yang ditunggu ternyata juga sedang menunggu, meski dengan harap-harap cemas, apakah dia akan datang segera? Apakah dia juga merasakan yang sama?
Ketika semesta berkonspirasi untuk mempertemukan dua manusia pemalu pada satu titik temu, agar mereka saling mengiringi dan melengkapi satu sama lain. Menyusun jembatan panjang menuju surga-Nya.




“Cinta adalah perlawanan. Atas rasa takut yang berlebihan. Atas kekhawatiran yang keterlaluan. Atas rindu yang tak boleh dibiarkan beku lama-lama.”Cinta adalah Perlawanan – Azhar Nurun Ala


Sincerely,
Riana Yahya

Rabu, 02 Maret 2016

Memilih yang Pasti

Malam itu hujan memberikan kesempatan dua sahabat lama untuk berbincang panjang. Sejak maghrib tetes-tetes dari langit itu tak kunjung lengang ritmenya, hingga jam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Handphoneku beberapa kali berdering, pesan dari orang rumah yang mengingatkan bahwa sudah malam, dan perintah untuk lekas pulang. Aku bilang di sini masih hujan cukup deras. Dan mata minusku ini tidak siaga jika mengemudi saat hujan, apalagi di malam hari. Padahal jarak dari rumah temanku ini tak jauh dari rumahku. Sekitar 10 menit jika ditempuh dengan motor. Tapi ngeri juga kalau sudah malam begini, jalanan sudah sepi. Maklum, kami bukan tinggal di kota besar, hanya di pinggiran. Akhirnya setelah mendapatkan izin dari orang tua, aku memutuskan untuk menginap, memenuhi permintaan sahabatku yang kebetulan bapak ibunya sedang tidak di rumah.

“Mungkin pada akhirnya wanita akan menyerah pada sesiapa yang dinantikan dan diharapkannya. Seseorang yang disimpan dalam diam panjangnya, maksudku. Berpaling pada seseorang yang lebih siap dan matang di hadapannya,” ungkapku sambil menatap langit-langit kamar yang gelap. Lampu sudah sejak berjam-jam tadi dimatikan, tapi kami masih tetap terjaga. Berbincang panjang mengenai keresahan yang seperti benang kusut memenuhi pikiran.

“Iya, wanita cenderung akan begitu. Memilih yang pasti,” tambah lawan bicaraku. Lalu ada hening yang lama. Suara hujan di luar semakin menenggelamkan kami pada pikiran masing-masing.

“Tapi...,” aku ragu-ragu memecah keheningan, “bisa saja seseorang yang disimpannya dalam diam panjangnya itu kelak benar-benar jadi sesorang di hadapannya.”

“Tetep. Ngarep. Hahaha.”

“Hahaha,” aku ikut tertawa, “Terserah Allah aja lah. Siapapun.”

Karena Ia sebaik-baik pemberi kepastian.


“....and some say love is holding on
And some say letting go”
-Perhaps Love by John Denver-




Senin, 22 Februari 2016

MEMASTIKAN PERASAAN



Malam itu, aku sedang bersandar di tembok kamar, di atas tempat tidurku. Dengan sepotong buku prosa favoritku di pangkuan. Aku sudahi bacaan seusai bertemu tanda titik, sebab terdengar suara mamah memanggil namaku dari ruang tengah. Rumah kami tidak begitu besar, jadi cukup naikkan volume suara sedikit untuk memanggil para penghuni kamar agar segera menghampiri sumber suara.

Aku menjawab panggilan mamah. Lalu bergegas keluar kamar. Sudah ada papah dan kakakku di sana. Berkumpul di satu titik. Aku mendekat. Martabak manis rupanya, mamah tahu ini salah satu makanan kesukaanku, jadi mungkin pikirnya aku tidak akan menyesal meski harus menjeda bacaku. Aku mengambil satu potong yang cokelatnya terlihat lebih banyak daripada yang lain. Duduk di lantai beralaskan karpet. Kumpul keluarga memang lebih sering di sini, meski beberapa langkah di sebelah ada sofa yang lebih empuk dari lantai. Entahlah, sofa itu terkesan formal, hanya untuk menyambut tamu-tamu saja.

Di momen seperti ini, perbincangan dari mulai yang teringan hingga terberat bisa saja muncul. Tapi akhir-akhir ini orang tuaku seperti tak menemukan topik lain selain penasaran akan siapa pendamping anaknya kelak. Awalnya akan dibuka dengan pembicaraan ringan mengenai sanak saudara yang sudah memiliki calon dan sudah diperkenalkan ke orang tuanya. Tapi pada akhirnya akan menjadi sebuah kalimat tanya yang tertunjuk padaku.

Dan ini entah sudah ke berapa kalinya, aku menjawab dengan kalimat yang sama, “Belum ada. Nanti juga kalau ada akan bertandang ke sini, bersama keluarganya.”

Tapi orang tuaku tidak menyerah sampai di situ. Mereka menerka siapa yang kiranya ada di hati putri mereka ini. Saya tertawa mendengar tebakannya, “Bukan, dia hanya teman.”

Mereka mungkin tidak akan dapat menerka bahwa itu adalah kamu. Orang-orang di sekitarku mungkin juga tidak akan dapat menerka bahwa itu adalah kamu. Kamu yang diam-diam kuselipkan namanya dalam do’a-do’a malamku.

Sempat terlintas keinginan untuk menceritakan sedikit tentangmu pada mereka. Tapi kemudian segera kuurungkan. Bagaimana bisa aku memastikan mereka jika perasaanku saja belum ku pastikan?

“Memastikan perasaan membutuhkan waktu yang berbeda bagi setiap orang. Bahkan, ada yang bertahun-tahun. Memendamnya hanya untuk memastikan, benarkah? Hingga pada jawaban terakhir, ketika setiap pemilik rasa mau dan mampu berdamai dengan perasaannya. Ada yang jawabannya ternyata benar dan ada yang ternyata selama ini salah. Ada yang kemudian mundur dengan bahagia, ada pula yang untuk memastikannya hanya butuh bilangan bulan sejak merasa pertama kali. Dan untuk memastikannya membutuhkan kesabaran dan ketekunan pendekatan kepada Tuhan.”
 -Kurniawan Gunadi dalam Hujan Matahari-



Bekasi, 23:03 22-2-16

Sincerely,
Riana 

Sabtu, 20 Februari 2016

Catatan Nonton Bareng Ketika Mas Gagah Pergi The Movie – Karawang ; Hijrah, Move On!

Berawal dari niatan nonton bareng film “Ketika Mas Gagah Pergi The Movie” beberapa akhwat FLP Karawang pada ahad, 31 Januari lalu. Sayangnya, film yang belum lama tayang di Karawang Teater (KT) itu sudah turun layar, dari laporan seorang teman yang ingin nonton di hari sabtu. Ketika ditanyakan kepada petugas KT, katanya penontonnya sedikit. Bisa naik layar lagi, tapi minimal harus ada 200 penonton.

Dari situ dimulai lah ide nobar “Ketika Mas Gagah Pergi The Movie” versi besarnya. Dengan satu tujuan, sebisa mungkin film dakwah kece ini ditonton oleh sebanyak-banyaknya orang. Beberapa panitia dikumpulkan, dari berbagai komunitas; FLP Karawang, Matasinema Karawang, Karawang Foundation, Backpacker Karawang, dll. Tempat pun di pilih yang lebih nyaman, yakni di CGV Blitz Festive Walk Karawang, yang tadinya tidak menayangkan film ini. Tapi syaratnya lebih menantang, harus sewa satu studio dengan kapasitas 308 seat.

Namun diluar dugaan, antusiasme penonton membludak. Tiket 308 seat sold out dihari ketiga penjualan. Panitia pun menyewa satu studio tambahan lagi. Dan sama seperti sebelumnya, sold out bahkan dalam waktu dua hari. Itu pun masih banyak yang tidak kebagian. Panitia sengaja tidak menambah studio lagi karena sadar akan keterbatasan. Jumlah panitia hanya 16 orang, dengan berbagai deskjob seperti mc, penukaran tiket via transfer dan cash, mengatur penonton dalam studio, border bintang tamu, dokumentasi, dll.


Finally, D-day was coming. Panitia sudah kumpul di basecamp ba’da dzuhur tapi masih riweuh ngurusin ini itu. Jam 13.30 sudah mau otw ke TKP CGV Blitz tapi tetibaaaa.. Hujan deras, jreng!! Padahal penukaran tiket itu dijadwalkan mulai jam 14.00. Untung ada beberapa (dua doang sih T_T) panitia yang udah standby di TKP. Sekitar jam 14.20 saya dan teman-teman panitia baru sampai di blitz, nekat menerjang hujan dengan kostum alien, ada juga yg berbasah ria. Daaaan... langsung diserbu penonton yang mau nukerin tiket >,<


Akhwat kece penjaga tiket with Masaji (Yudi a.k.a. Mas Fisabilillah)

Jam 15.45 bioskop sudah mulai dibuka. 15 menit kemudian film dimulai. Saya, setelah nunggu 3 teman yang tiketnya ada di saya (telat pula datengnya -___-“ well, karena di luar hujan gede sih, maklum) langsung berlarian ke studio 6. Film udah mulai beberapa menitan lah. Dapet bangku paling depaaan, shaf pertama, pojok kanan. Masih ada bangku kosong lainnya sih, tapi kayaknya itu posisi paling pewe buat panitia yang jika dibutuhkan bisa keluar-masuk tanpa ganggu penonton lainnya.
Sebenarnya sangat kurang nyaman sih nonton paling depan dengan kacamata minus saya. Pusing banget ngeliat layar. Tapi yasudahlah yaa, disyukuri aja. Nonton juga sebenernya nggak begitu konsen karena worry dengan beberapa hal di kepanitiaan, doorprize udah disediain belum? gimana kalo yang dapet doorprize nggak hadir? dll. Tapi overall, insyaallah masih bisa menangkap garis besar pesan-pesan yang ada di film KMGP.

Lagi nonton, masih sempet-sempetnya foto >,< with teh Dede Chibi (my new partner in crime)

“Kita itu harus hijrah. Pindah. Move on. Say yes, untuk berubah ke arah yang lebih baik. Say yes, untuk meninggalkan yang salah!” begitulah kira-kira isi ceramah Yudi di dalam bis kota. Dengan kemeja kotak-kotaknya, dia mencoba berdakwah bukan di “ladang basah” macam pesantren dan majelis-majelis ilmu, tapi di dalam bis kota.

Sosok Yudi dalam film “Ketika Mas Gagah Pergi The Movie” menurut saya sengaja diciptakan Mbak Helvy Tiana Rossa untuk memberi inspirasi bagi para pembawa pesan dakwah. Bahwasanya berdakwah, mengajak orang untuk berhijrah, pindah, move on, bisa dilakukan dimana saja, dengan media apa saja, dan kepada siapa saja.

Film KMGP The Movie ini sangat ringan (terbukti berkali-kali penonton dibuat tertawa dengan dialog-dialog lucu) tapi juga mengena. Mungkin karena kontennya yang sangat membumi dan tidak utopis. Beberapa penonton merasa pernah ada di dalam posisi Mas Gagah yang setelah berhijrah, jalan di depan terasa berat untuk dilalui; tentangan dari keluarga, keanehan dari teman-teman, dan sebagainya. Beberapa penonton merasa pernah ada di dalam posisi Noey, yang terheran-heran dengan perubahan drastis orang tercintanya, dan merasa kehilangan sosok Mas Gagah yang dulu. Beberapa penonton merasa pernah ada di dalam posisi Yudi, ketika dakwahnya tidak didengar, atau malah diprotes dan dimusuhi orang-orang.

Selain itu, saya suka cara film ini menyisipkan hal-hal “tidak awam” seperti dialog teater yang menceritakan tentang Palestina, acara nikahan syar’i, dan ketika Yudi menyelamatkan seorang kristian (penganut agama kristen). Film ini sangat idealis tapi di sisi lain juga realistis.

Selesai nobar di studio 6 dan 7, acara berlajut ke lounge untuk meet and greet. Tanya-jawab dan sesi foto bersama. 

Terima kasih untuk kerjasama para cast, guest, dan panitia yang kece badai
Kaliaaaan petjaaaaahh!! :D


Sincerely,
Riana

Senin, 11 Januari 2016

Catatan Perjalanan IV: Mendaki Gunung Lembu

Akhirnya trip ke Gunung Lembu bisa terealisasi di ahad kedua tahun 2016 ini. Tidak banyak persiapan, jum’at sore baru ditelepon teman untuk ngejadiin rencana yang tertunda ahad kemarin karena alasan cuaca. Boleh juga, pikir saya, kan udah seminggu  nggak turun ujan (di rumah saya). Udah kering kali ya track-nya, udah nggak licin lagi. Langsung lah saya memobilisasi masa. “Rayu” sana-sini biar semua ikut.  Duh.. ini mah bukan gunung, cuma bukit teletubbies doang, haha. Dua jam juga sampe. Tanjakannya di awal doang, kok. Gunung lembu mah landai.. Begitu kira-kira. Dan terkumpullah 6 orang pendaki yang bakal menaklukan Gunung Lembu, including saya.


Sebelumnya saya kenalin dulu lah ya genk kece yang ikut trip ini. Ada saya (kenal, kan? Eh :D), Lela (kerudung merah), Dewi (kerudung item), Deden (baju abu-merah) , Zulfan (cowok kacamata), dan Rizma (sisanya, haha). Kami udah temenan sejak SMP dulu, 10 tahun yang lalu kira-kira, jadi udah tau lah ya busuk-busuk nya :))

Genk Kece at Starting Point

Kami start sekitar jam 7 pagi dari rumah saya di perbatasan Karawang-Bekasi. Perjalanan  naik motor hingga pos jaga Gunung Lembu di Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta, menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam. Lumayan pegel-pegel sih, makanya kami istirahat dulu sebentar di pos jaga pas sampe, nggak langsung nanjak. Oh iya, perwakilan dari tiap kelompok pendaki harus registrasi di pos jaga ini. Ada WC umum sama warung juga di sini. Sedikit tips, di atas nggak ada WC umum, jadi mending buang dulu yang harus dibuang di pos jaga ini. Dari pada nanti harus melipir ke semak-semak, kan ribet. Kalo warung, di pos 1 sama di puncak juga ada, jadi nggak perlu nyetok (kata dasarnya stock, diberi imbuhan nye- dan entah bagaimana berakhir jadi kata itu xD) air banyak-banyak dari bawah, berat.

Setelah berleha-leha di pos jaga, kami mulai nanjak sekitar jam 10. Welcome to the jungle! Haha. Baru lima menit nanjak aja Dewi sama Lela udah hah-heh-hoh.  Baru tiga langkah, istirahat, lima langkah, istirat lagi. Kaki udah lemes, muka udah pada pucet. Jadi lah saya yang di bully, “Oh... gini ya bukit teletubbies?!” Aaaak.. mati deh saya XD

Saya juga sebenernya capek, lumayan banget tanjakannya non-stop. Padahal terakhir kali “olah raga” itu pas trip ke Curug Cigentis ahad lalu, setelah itu absen terus lari pagi bareng papah. But, in the other side, saya juga harus memotivasi yang lain biar tetep semangat, terutama yang cewek-cewek (kalo cowok-cowoknya mah lumayan well-built lah.. Deden udah beberapa kali naik gunung, Rizma lulusan olah raga, Zulfan sering nge-gym dulunya). Jadi pas perjalanan nanjak saya hampir selalu ada di barisan paling depan (padahal biasanya saya selalu di barisan ke-2 paling belakang, pas ke Curug Lalay dan Cigentis pun begitu, saking payahnya saya).

Untuk sampai pos 1 aja, kami hampir menghabiskan waktu sejam, itu paling jalannya cuma 15 menit, 45 menit sisanya dipake buat istirahat. Kita nyantai banget emang. Pelan-pelan asal sampai (saya nggak tau kalimat asli yang bahasa jawanya gimana, alon-alon asal klakon, kah?). Nikmatin aja semua prosesnya. Kebersamaannya. Bully-bullyannya.

Track menanjak non-stop dari start sampai pos 2

Setelah pos 1 kirain tracknya udah mulai datar, karena dari blog yang saya baca soal Lembu, track nanjak yang lumayan curam (sekitar 45 derajat) itu cuma di 40 menit awal. Tapi ternyata... penderitaan belum berakhir. Kena bully lagi deh saya, “Wah... tanjakannya cuma di awal doang kan, ya? Di depan udah mulai datar kan ya?!” Aaaak.. padahal sejauh mata memandang masih tanjakan semua di depan XD

Tapi dari pos 1 ke pos 2 meski tracknya sama-sama nanjak, tapi terasa lebih ringan kok dibanding perjalanan dari start ke pos 1. Entah tracknya yang emang lebih pendek, atau karena fisik kita yang udah terbiasa. Udah nggak kaget lah istilahnya. Oh iya, di beberapa tanjakan yang curam “agak” sekali, sudah disediakan webing untuk ngebantu pendaki naik.

Webing untuk membantu para pendaki naik

Alhamdulillah, setelah ngelewatin pos 2, track udah mulai datar. Capek karena tanjakan-tanjakan tadi udah mulai hilang. Tapi tetep harus fokus ya, soalnya ada beberapa track setapak yang sisinya langsung jurang.

Watch your step!

Di jalan kami sempet papasan sama serombongan anak SD yang udah mau turun. Ngeliat mereka yang terus jalan tanpa ngeluh, bikin saya maluuu.. banget, tuh anak SD aja kuat, masa lu nggak? Belum lagi papasan sama cewek-cewek yang nenteng carrier segede gaban. Padahal saya cuma bawa tas gemblok yang isinya cuma air sebotol, jas hujan, sama hp (nasi saya masukin ke tas Rizma soalnya lumayan berat, hehe). Duh, Riana, payah banget sih lu...!! Kapan jadi cewek strong kayak mereka, hah?! Expectation... Reality... Masih jauh banget XD


Jam 12 tepat kami sampai di Batu Lembu, destinasi utama kami. Wajah genk kece yang tadinya udah pada lemah, lesu, lunglai, langsung ceria lagi pas liat view yang tersaji dari atas Gunung Lembu. Waduk Jatiluhur, keramba-keramba yang mengapung di permukaannya, dan pulau-pulau kecilnya. Gunung-gunung tetangga, Parang, Bongkok, dan banyak lagi yang belum ternamai. Kota Purwakarta nan bak miniatur maket waktu Studio Tapak pas kuliah tingkat tiga. Wah... kebayar semua perjuangan nanjak selama 2 jam tadi.   

Sampai di puncak Gunung Lembu

Setelah puas foto-foto, kami melipir ke tempat teduh buat buka bekal makanan. Anak-anak cewek udah pada bagi-bagi tugas gitu pas hari sabtu. Lela bawa nugget, telor dadar, sama mie. Dewi juga bawa telor dadar, karena lela cuma punya 2 telor, haha. Saya kebagian bawa nasi dan oreg tempe. Meski dengan lauk sesederhana itu, tapi kalo di makan rame-rame dan pas lagi laper-lapernya, pasti sapu bersih.

Makan bersama

Jam 2 kita mulai turun. Anehnya, Lela yang pas nanjak tadi kepayahan, entah dapet energi dari mana, jadi semangat banget pas turun. Dia selalu ada di barisan paling depan. Berbanding terbalik sama saya. Di perjalanan turun, baru beberapa menit saya udah kepayahan. Kaki udah lemes banget, mungkin tenaganya udah kepake semua buat nanjak tadi. Ditambah tracknya licin, tanahnya lembab gegara hujan kemarin sore (kata penduduk setempat, di Lembu hampir tiap sore ujan akhir-akhir ini). Sebentar-sebantar saya ngedeprok (bahasa planet mana ini?) di tanah, karena dengkul udah nggak kuat nahan pas di turunan. Kalo Dewi tetep istiqamah, perjalanan nanjak sama turun, tetep di urutan paling belakang. Haha. Olah raga makanya, bu bidan! :P

Sekitar jam 4 kita udah sampe pos jaga. Sebenernya mungkin bisa lebih cepet, tapi kami berhenti dulu di warung deket pos 1, makan es campur dan bernostalgila tentang masa-masa SMP dulu. Es campurnya unik, baru kali ini saya nemuin es campur pake tomat. Inovasi baru sepertinya. Sedikit tips, kalo mau mesen es campur, mending satu porsi berdua. Soalnya porsinya banyak banget, mubadzir nanti kalo nggak abis.

Di jalan pulang, sekitar setengah jam berkendara, hujan mulai turun, deras. Kami akhirnya berteduh dulu di warung yang tutup sampai hujan reda. Dari estimasi 18.30 udah sampe rumah, jadi ngaret banget. Jam 19.30 kita baru sampe Karawang, mampir dulu makan malem di Sop Janda supaya pas sampe rumah tinggal bersih-bersih, shalat, dan tidur. 

Bagi saya, trip itu sebenarnya bukan soal kemana, tapi dengan siapa. Dengan anak-anak ini, anak-anak kacau, eh, kece ini, trip kali ini jadi begitu menyenangkan. Sepuluh tahun tentu bukan waktu yang sebentar. Mereka tahu bandel-bandelnya saya, buruk-buruknya saya, masa-masa jahiliyahnya saya. Haha :)) Mereka tau proses metamorfosis saya selama sepuluh tahun ini sampai jadi seorang Riana yang sekarang. Banyak orang hanya tau Riana yang dulu, sehingga yang disimpannya hanya memori yang buruk tentang saya. Beberapa hanya tau Riana yang sekarang, sehingga yang disimpannya hanya memori yang “bisa dibilang lumayan baik” tentang saya. Tapi mereka, anak-anak ini, tau history saya. Saya yang dulu begitu dan sekarang begini. Dan yang lebih penting, mereka menerima perubahan saya itu. Tanpa ada satupun yang nyinyir, ngapain sih na ribet-ribet naik gunung pake rok?  Tanpa ada satupun yang dongkol pas uluran tangannya untuk ngebantu saya naik atau turun di tempat-tempat bahaya dan curam malah saya tolak. You’re rock, guys!! :)

Kalian luar biasaaa!!


Sincerely,
Riana.