Senin, 22 Februari 2016

MEMASTIKAN PERASAAN



Malam itu, aku sedang bersandar di tembok kamar, di atas tempat tidurku. Dengan sepotong buku prosa favoritku di pangkuan. Aku sudahi bacaan seusai bertemu tanda titik, sebab terdengar suara mamah memanggil namaku dari ruang tengah. Rumah kami tidak begitu besar, jadi cukup naikkan volume suara sedikit untuk memanggil para penghuni kamar agar segera menghampiri sumber suara.

Aku menjawab panggilan mamah. Lalu bergegas keluar kamar. Sudah ada papah dan kakakku di sana. Berkumpul di satu titik. Aku mendekat. Martabak manis rupanya, mamah tahu ini salah satu makanan kesukaanku, jadi mungkin pikirnya aku tidak akan menyesal meski harus menjeda bacaku. Aku mengambil satu potong yang cokelatnya terlihat lebih banyak daripada yang lain. Duduk di lantai beralaskan karpet. Kumpul keluarga memang lebih sering di sini, meski beberapa langkah di sebelah ada sofa yang lebih empuk dari lantai. Entahlah, sofa itu terkesan formal, hanya untuk menyambut tamu-tamu saja.

Di momen seperti ini, perbincangan dari mulai yang teringan hingga terberat bisa saja muncul. Tapi akhir-akhir ini orang tuaku seperti tak menemukan topik lain selain penasaran akan siapa pendamping anaknya kelak. Awalnya akan dibuka dengan pembicaraan ringan mengenai sanak saudara yang sudah memiliki calon dan sudah diperkenalkan ke orang tuanya. Tapi pada akhirnya akan menjadi sebuah kalimat tanya yang tertunjuk padaku.

Dan ini entah sudah ke berapa kalinya, aku menjawab dengan kalimat yang sama, “Belum ada. Nanti juga kalau ada akan bertandang ke sini, bersama keluarganya.”

Tapi orang tuaku tidak menyerah sampai di situ. Mereka menerka siapa yang kiranya ada di hati putri mereka ini. Saya tertawa mendengar tebakannya, “Bukan, dia hanya teman.”

Mereka mungkin tidak akan dapat menerka bahwa itu adalah kamu. Orang-orang di sekitarku mungkin juga tidak akan dapat menerka bahwa itu adalah kamu. Kamu yang diam-diam kuselipkan namanya dalam do’a-do’a malamku.

Sempat terlintas keinginan untuk menceritakan sedikit tentangmu pada mereka. Tapi kemudian segera kuurungkan. Bagaimana bisa aku memastikan mereka jika perasaanku saja belum ku pastikan?

“Memastikan perasaan membutuhkan waktu yang berbeda bagi setiap orang. Bahkan, ada yang bertahun-tahun. Memendamnya hanya untuk memastikan, benarkah? Hingga pada jawaban terakhir, ketika setiap pemilik rasa mau dan mampu berdamai dengan perasaannya. Ada yang jawabannya ternyata benar dan ada yang ternyata selama ini salah. Ada yang kemudian mundur dengan bahagia, ada pula yang untuk memastikannya hanya butuh bilangan bulan sejak merasa pertama kali. Dan untuk memastikannya membutuhkan kesabaran dan ketekunan pendekatan kepada Tuhan.”
 -Kurniawan Gunadi dalam Hujan Matahari-



Bekasi, 23:03 22-2-16

Sincerely,
Riana 

Sabtu, 20 Februari 2016

Catatan Nonton Bareng Ketika Mas Gagah Pergi The Movie – Karawang ; Hijrah, Move On!

Berawal dari niatan nonton bareng film “Ketika Mas Gagah Pergi The Movie” beberapa akhwat FLP Karawang pada ahad, 31 Januari lalu. Sayangnya, film yang belum lama tayang di Karawang Teater (KT) itu sudah turun layar, dari laporan seorang teman yang ingin nonton di hari sabtu. Ketika ditanyakan kepada petugas KT, katanya penontonnya sedikit. Bisa naik layar lagi, tapi minimal harus ada 200 penonton.

Dari situ dimulai lah ide nobar “Ketika Mas Gagah Pergi The Movie” versi besarnya. Dengan satu tujuan, sebisa mungkin film dakwah kece ini ditonton oleh sebanyak-banyaknya orang. Beberapa panitia dikumpulkan, dari berbagai komunitas; FLP Karawang, Matasinema Karawang, Karawang Foundation, Backpacker Karawang, dll. Tempat pun di pilih yang lebih nyaman, yakni di CGV Blitz Festive Walk Karawang, yang tadinya tidak menayangkan film ini. Tapi syaratnya lebih menantang, harus sewa satu studio dengan kapasitas 308 seat.

Namun diluar dugaan, antusiasme penonton membludak. Tiket 308 seat sold out dihari ketiga penjualan. Panitia pun menyewa satu studio tambahan lagi. Dan sama seperti sebelumnya, sold out bahkan dalam waktu dua hari. Itu pun masih banyak yang tidak kebagian. Panitia sengaja tidak menambah studio lagi karena sadar akan keterbatasan. Jumlah panitia hanya 16 orang, dengan berbagai deskjob seperti mc, penukaran tiket via transfer dan cash, mengatur penonton dalam studio, border bintang tamu, dokumentasi, dll.


Finally, D-day was coming. Panitia sudah kumpul di basecamp ba’da dzuhur tapi masih riweuh ngurusin ini itu. Jam 13.30 sudah mau otw ke TKP CGV Blitz tapi tetibaaaa.. Hujan deras, jreng!! Padahal penukaran tiket itu dijadwalkan mulai jam 14.00. Untung ada beberapa (dua doang sih T_T) panitia yang udah standby di TKP. Sekitar jam 14.20 saya dan teman-teman panitia baru sampai di blitz, nekat menerjang hujan dengan kostum alien, ada juga yg berbasah ria. Daaaan... langsung diserbu penonton yang mau nukerin tiket >,<


Akhwat kece penjaga tiket with Masaji (Yudi a.k.a. Mas Fisabilillah)

Jam 15.45 bioskop sudah mulai dibuka. 15 menit kemudian film dimulai. Saya, setelah nunggu 3 teman yang tiketnya ada di saya (telat pula datengnya -___-“ well, karena di luar hujan gede sih, maklum) langsung berlarian ke studio 6. Film udah mulai beberapa menitan lah. Dapet bangku paling depaaan, shaf pertama, pojok kanan. Masih ada bangku kosong lainnya sih, tapi kayaknya itu posisi paling pewe buat panitia yang jika dibutuhkan bisa keluar-masuk tanpa ganggu penonton lainnya.
Sebenarnya sangat kurang nyaman sih nonton paling depan dengan kacamata minus saya. Pusing banget ngeliat layar. Tapi yasudahlah yaa, disyukuri aja. Nonton juga sebenernya nggak begitu konsen karena worry dengan beberapa hal di kepanitiaan, doorprize udah disediain belum? gimana kalo yang dapet doorprize nggak hadir? dll. Tapi overall, insyaallah masih bisa menangkap garis besar pesan-pesan yang ada di film KMGP.

Lagi nonton, masih sempet-sempetnya foto >,< with teh Dede Chibi (my new partner in crime)

“Kita itu harus hijrah. Pindah. Move on. Say yes, untuk berubah ke arah yang lebih baik. Say yes, untuk meninggalkan yang salah!” begitulah kira-kira isi ceramah Yudi di dalam bis kota. Dengan kemeja kotak-kotaknya, dia mencoba berdakwah bukan di “ladang basah” macam pesantren dan majelis-majelis ilmu, tapi di dalam bis kota.

Sosok Yudi dalam film “Ketika Mas Gagah Pergi The Movie” menurut saya sengaja diciptakan Mbak Helvy Tiana Rossa untuk memberi inspirasi bagi para pembawa pesan dakwah. Bahwasanya berdakwah, mengajak orang untuk berhijrah, pindah, move on, bisa dilakukan dimana saja, dengan media apa saja, dan kepada siapa saja.

Film KMGP The Movie ini sangat ringan (terbukti berkali-kali penonton dibuat tertawa dengan dialog-dialog lucu) tapi juga mengena. Mungkin karena kontennya yang sangat membumi dan tidak utopis. Beberapa penonton merasa pernah ada di dalam posisi Mas Gagah yang setelah berhijrah, jalan di depan terasa berat untuk dilalui; tentangan dari keluarga, keanehan dari teman-teman, dan sebagainya. Beberapa penonton merasa pernah ada di dalam posisi Noey, yang terheran-heran dengan perubahan drastis orang tercintanya, dan merasa kehilangan sosok Mas Gagah yang dulu. Beberapa penonton merasa pernah ada di dalam posisi Yudi, ketika dakwahnya tidak didengar, atau malah diprotes dan dimusuhi orang-orang.

Selain itu, saya suka cara film ini menyisipkan hal-hal “tidak awam” seperti dialog teater yang menceritakan tentang Palestina, acara nikahan syar’i, dan ketika Yudi menyelamatkan seorang kristian (penganut agama kristen). Film ini sangat idealis tapi di sisi lain juga realistis.

Selesai nobar di studio 6 dan 7, acara berlajut ke lounge untuk meet and greet. Tanya-jawab dan sesi foto bersama. 

Terima kasih untuk kerjasama para cast, guest, dan panitia yang kece badai
Kaliaaaan petjaaaaahh!! :D


Sincerely,
Riana