Minggu, 03 Desember 2017

Merbabu, Savannah and Clouds of Heaven

Sebetulnya, keinginan menyambangi gunung Merbabu ini sudah ada sejak saya berhasil menengok keindahan gunung Prau April 2016 lalu. Gunung selanjutnya yang menjadi targetan memang Merbabu ini, nggak pengen yang lain, harus kamu, iyaaa, kamuuuuu. Kalau sebelumnya pingin banget ke Prau karena daisy-nya, kali ini ngiler banget pingin ke Merbabu karena sabana dan samudera awannya. Plus setelah baca novel Pejalan Anarki, Mas Jazuli Imam berhasil meracuni saya, jadi kepingin banget liat langsung keindahan gunung yang dideskripsikan di bukunya itu. Beberapa teman dekat saya pasti tahu betapa kepinginnya saya menginjakan kaki di sana. Dari mulai update status tentang Merbabu, sampai kalau ngobrolin gunung, ya yang diomongin bakalan tentang Merbabu dan keinginan saya ke sana.

Tapi sialnya, kebanyakan teman seperjalanan saya sudah pernah ke sana. So, mereka kurang tertarik pas saya ajak lagi buat nanjak ke gunung yang puncaknya berada di ketinggian 3142 mdpl itu. Ppffttt... Apalah daya saya. Mau ikut open trip juga belum berani karena banyak alasan; susah dapet izin dari Mamah kalo pergi sama orang-orang yang belum dikenal, bukan pribadi yang supel di awal pertemuan, takut nyusahin orang asing dipertemuan pertama (mending juga kalo ada yang mau disusahin -,-“).

Libur panjang pun tiba, saya dapet jatah libur sekitar 2 minggu dari kantor. Lebih lama dari kebanyakan pekerja yang masuk di hari senin (3/7), saya masuk kerja mulai kamis (6/7) lumayan bulukan kalo nggak di pake ngetrip kan yaaa. Meskipun di H+1 udah mantai dan snorkling-snorkling manja di Pulau Harapan bersama keluarga, pun sabtunya udah main air lagi di Curug Cipanunda, tapi tetep aja berasa belum afdhol kalo belum nanjak gunung yang satu itu. Huhuhu.

Akhirnya, setelah uring-uringan ga jelas (mhuehehe, khasnya anak bungsu kalo permintaannya nggak terpenuhi atau emang sayanya aja yang childish) kabar baik pun muncul. Minggu malam baru ada rencana bakal berangkat, senin persiapan pinjem peralatan sana-sini, dan selasa kita beneran berangkat, sambil masih berasa kayak mimpi.

Yup, selasa (4/7) sekitar jam 7 malam, kita bertiga, saya, @mohparman, dan Linda (adiknya @mohparman) memulai perjalanan dari terminal Klari Karawang. Naik bis dengan harga Rp 130.000,- (harganya agak naik karena masih musim lilbur lebaran) dengan tujuan Terminal Tidar, Magelang. Tapi apesnya, kita diturunin di tengah jalan, sekitar jam 3 pagi, di Purworejo kalo nggak salah. Kita pun harus naik bis lagi seharga Rp 20.000,- untuk sampai ke Terminal Tidar. Begitu kita menginjakan kaki di terminal, meski baru jam 4 subuh, sudah banyak yang menawarkan mobil carteran menuju basecamp Suwanting.

Ada dua opsi untuk menuju basecamp Suwanting, pertama dengan kendaraan umum, kalian harus beberapa kali ganti angkutan umum, bis dan angkot, kemudian dilanjut lagi naik ojek. Opsi kedua dengan carter/sewa mobil, langsung dianter ke basecampnya, biasanya kisaran harga 250-300rb/mobil. Enaknya sih kalo rombongan mending carter mobil aja, ga ribet dan lebih cepet. Tapi kita cuma bertiga, bisa kena 100rb/orang, hhmmmm... Untungnya, kita nemu dua orang teman seperjalanan dari Jakarta yang juga mau ke basecamp Suwanting. Setelah nego dengan bapak supirnya, kami mendapat harga Rp 50.000,-/orang. Itu pun udah plus dianter ke atm dan alf*mart untuk beli keperluan logistik. Tadinya kita minta mampir ke pasar juga untuk beli beras dan sayuran, tapi ternyata nggak ada pasar yang kita lewatin. Paniklah semua yang dimobil, hahaha. Alamat makan mie instan terus 2-3 hari ke depan. Angan-angan untuk makan sayur sop atau sayur asem anget-anget di tenda buyar sudaaaah   T_T

Sekitar jam 6 kita sampai di basecamp Suwanting. Cukup sepi, cuma ada satu rombongan yang masih tidur. Kita pun bergabung buat tidur bersama, eeeh, jauh-jauhan tapinya. Sejujurnya, ini pengalaman pertama saya istirahat di basecamp pendakian. Tempatnya kayak ruang tengah sebuah rumah yang luas tanpa perabot apapun. Semua orang bisa tidur di situ, gratis. Ada juga meja prasamanan biasanya di pojokan. Semua orang bisa makan di situ, bayar tapinya.

Sambil menunggu Mas Ikhsan, teman kita yang lagi pulang kampung ke Solo, sekaligus guide kita kali ini, kita terlebih dulu sarapan dan melengkapi beberapa logistik yang belum dibeli seperti air. Teman semobil sewaan kita sudah pamit untuk nanjak duluan sekitar jam 7. “Nanti nyusul, ya!” kata mereka. Hhmm... mission impossible kayaknya. Secara kita –eh, saya deng– kalo nanjak udah kaya putri, putri siput :’))

Dan, jam 9 Mas Ikhsan baru nongol, padahal janjinya jam 8, pfftttt. Katanya lupa, malah ke basecamp Selo, duh... Emang pendakian via Selo lebih famous sih dibandingkan via Suwanting, tapi karena beberapa pertimbangan, kita memilih naik via Suwanting. Diantaranya yang paling signifikan adalah banyaknya keberadaan sumber air, sementara via Selo sama sekali nggak ada sumber air. Terus view via Suwanting juga nggak kalah kece katanya, meskipun treknya lebih lumayan dibandingkan via Selo. Tapi rencananya kita turun via Selo, biar dapet juga view Selonya. Nggak mau rugi pokoknya kita, hehehe.

Kitapun akhirnya baru mulai nanjak sekitar jam 10an. Di pos pendakian Suwanting, kita harus membayar simaksi seharga Rp 18.000,- (ini tarif liburan juga sepertinya). Di trek awal, kita akan melewati perkebunan warga sekitar, kemudian mendekati pos 1 akan mulai banyak pohon pinus. Saya lupa berapa lama waktu untuk sampai ke pos 1, waktu normalnya sih sekitar 2 jam, tapi karena kita bisa dibilang sewoles-wolesnya pendaki di Merbabu hari itu, sepertinya kita sampai di sana setelah sekitar 3 jam perjalanan, atau lebih, hehehe. Seinget saya, dari awal sampai nanti finish, kita nggak pernah mendahului pendaki lain, yang ada kita terus yang ditikung. Ya ga papalah ya, asal nanti dapetinnya yang lebih baik lagi *eh apasih.

Di pos 1 ini kita ketemu sama rombongan pendaki lain (lupa asalnya dari mana) yang dengan baik hatinya Mas Ikhsan menawarkan bantuan untuk mengambil foto mereka bahkan tanpa diminta. Dan, di kemudian hari mereka akan jadi salah satu penolong kita (penasaran? baca terus sampe habis makanya!)

Morality lesson: do good things and good things will happen to you.  It’s really happen genks! So, banyak-banyak berbuat baik selagi masih bisa, nanti pasti kebaikan-kebaikan lain akan menghampirimu, kalau ga di dunia, pasti di akhirat. Allah Seadil-adil Maha Pemberi Balasan, kan? :)

Sore hari, sekitar jam 4 kita baru sampai ke pos 2. Dengan kondisi fisik yang udah pada kecapekan, kita memutuskan untuk ngecamp di sana. Dua cowok langsung ngediriin tenda, beres itu cewek-cewek langsung ganti baju biar ga kedinginan. Di pos 2 ini, udara udah lumayan dingin, angin juga lumayan kenceng. Biar nggak kedinginan apalagi hypo, cepet ganti baju pendakian kamu yang pasti udah lembab karena keringet, dengan baju kering yang mau dipake buat tidur.

Di pos 2 tempat kita mendirikan tenda ini, view dihadapannya langsung Gunung Merapi. Udah dapet indahnyaaa, samudera awannya, sunsetnya juga kece. Saya pikir, kalaupun nggak bisa ngelanjutin perjalanan dan harus berenti di sini, ya nothing to lose. Beneran deh, di pos 2 aja udah bagus banget viewnya.


Menikmati senja di Pos 2 via Suwanting

Setelah cukup istirahat, di hari pendakian kedua kita mulai lagi treking dari jam 9 pagi. Treknya masih terus nanjak, tanpa bonus. Kalaupun ada dataran, paling cuma berapa langkah. Ini bikin fisik kita kepayahan, apalagi kami ngedaki tanpa persiapan fisik sebelumnya, dan bagi Linda pun, ini pengalaman mendaki pertamanya.

Karena tujuan utama kita bukan puncak, tapi pulang dengan selamat tanpa kurang apapun. Maka, kita ngedaki dengan santai, kalau capek ya berhenti istirahat. Nggak ada yang perlu dipaksain, nggak ada target harus nyampe jam berapa. Nikmatin aja perjalanannya, karena bakal banyak yang terlewat ketika kita tergesa-gesa. Tsaaaah...

Kadang kita jalan 3 menit, liat dataran dikit langsung duduk, istirahat sampe 15 menitan. Lanjut lagi, beberapa langkah kemudian berhenti lagi, istirahat lagi. Gitu aja terus, sampe nggak kerasa udah sore, jam 3an kita baru sampe ke pos 3. Hahaha. Bayangin, normalnya dari pos 2 ke pos 3 itu paling 3-4 jam, tapi itu kita tempuh selama 6 jam. Jadi dua kali lipatnya, fiuh!

Udah punya feeling bakal ngaret, di perjalanan  dari pos-2 ke pos-3 kita udah mulai mengumpulkan logistik sisa-sia para pendaki lainnya, hahaha. Inilah yang saya bilang do good things and good things will happen to you. Tiap kita ketemu sama para pendaki yang mau turun (sebelumnya kita udah saling sapa dan kenal kemarin pas mereka naik), kita tanya apa mereka punya sisa logistik. Nah, rombongan yang kemarin difotoin sama Mas Ikhsan itu yang paling banyak nyumbang logistik ke kita. Alhamdulillah, rejeki anak shaleh B-)

Kita juga sempet ketemu sama dua pendaki yang semobil barengan sama kita pas mau ke basecamp Suwanting. “Lah, baru mau naik?” “Iya, bang. Udah sampe puncak?” “Nggak, ngopi-ngopi dingin doang di pos 3. Pantesan kita nyariin kalian di pos 3 tapi nggak ada.” Nggak cuma mereka aja kok yang memutuskan untuk stop di pos 3, sebelumnya, rombongan bapak-bapak dermawan yang ngasih logistik ke kita juga cuma sampe pos 3 katanya.

Setelah sampe pos 3, ngerti juga sih kenapa mereka merasa udah cukup walaupun nggak sampe puncak. Pos 3 ini emang udah keren; banyak edelweis, Merapi, Sindoro, Sumbing keliatan menjulang gagah, samudera awan dan sunsetnya juga udah berasa di puncak.

View at Pos 3 via Suwanting

Dengan beberapa pertimbangan; kondisi fisik yang udah capek, angin yang lagi kenceng-kencengnya, khawatirnya kalo kita ngelanjutin dan ngecamp di sabana 1, tenda kita akan patah atau malah terbang kebawa angin, karena semakin tinggi, tiupan angin akan semakin kenceng. Pun, nggak ada tameng apapun untuk melindungi tenda kita, plong banget cuma ada rumput. Kalau di pos 3 ini masih ada beberapa pepohonan dan semak-semak untuk melindungi tenda kita dari terpaan angin secara langsung, jadi kita lebih milih stop perjalanan hari kedua di pos 3.

Sialnya, dingin dan anginnya udah nggak bisa diajak kompromi. Kalau di pos 2 saya dan Linda masih bisa keluar tenda untuk buag air kecil malem-malem, di pos 3 ini kita lebih milih tahan aja sampe besok pagi! Pas liat sunset aja kita cuma tahan beberapa menit, ngambil beberapa foto dan video dengan kecepatan kilat, dan langsung lari-larian ke dalem tenda. Saya mulai khawatir, gimana malem nanti?

Daaan, benar ajaaa. Saya udah pake double jaket, sleeping bag juga udah yang tebel, tapi masih gemerutukan. Anginnya parah, khawatir juga badai, pokoknya dag-dig-dug, bikin saya nggak bisa tidur semaleman. Menjelag pagi pas angin udah lumayan aman, baru saya bisa istirahat sebentar. Baru pertama kali itu ngerasain angin separah itu di gunung, pas di Prau dan pos 2 kemarin anginnya aman-aman aja. Saya ngebayangin gimana kalo kita jadi ngecamp di sabana 1 atau deket puncak sesuai rencana kita di awal, pasti lebih serem lagi anginnya, hiiiiii....

Hari ketiga, kita mulai lagi pendakian sekitar jam 9 pagi. Linda udah mulai terbiasa sepertinya, dia terus jalan di depan saya. Sebaliknya, saya udah mulai kehabisan energi di hari ketiga ini, ditambah semalam kurang istirahat. Baru treking 15 menitan carrier saya udah dibawain, hehehe.

Tapi untungnya view sepanjang perjalanan ngedukung banget untuk jadi penyemangat. Dari Pos 3 ke atas itu udah bukit sabana seluas mata memandang. Baguuuuus banget. Dan akhirnya, sekitar jam 1 siang kita sampai di puncak Suwanting. Asli ini petjaaaah banget viewnya! Nggak nyesel meski harus 3 hari perjalanan ke sini, capeknya kebayar lunasss. Saya masih inget, pas liat view-nya Linda langsung bilang, “Teh, ini kaya gambar di desktop komputer itu tapi versi aslinya!” Hahaha, iya bener sih.


View at Puncak Suwanting

Selesai puas menikmati keindahan Suwanting, kami melanjutkan perjalanan ke puncak Kenteng Songo. Masih naik-naik ke puncak gunung terus, meskipun nggak securam sebelumnya. Sekitar jam 3 kita sampai di ketinggian 3142 mdpl. Mas Ikhsan yang terlebih dulu sampai, udah lagi ngopi-ngopi ganteng sama rombongan pendaki lainnya, dari Bogor kalo nggak salah. Kami pun ikut nimbrung dan numpang masak mie di kompor milik mereka. Salah satu dari mereka juga nantinya ikut ngebantu ngebawain daypack kita sampe tenda mereka. Dan sebagai ucapan terima kasih, kita nge-share setengah botol air kita ke mereka yang udah krisis air.

Puncak Suwanting

Puncak Triangulasi

Puncak Kenteng Songo

Sadar kita mulai berpacu sama waktu, karena kita menghindari trek malem dan berharap bisa sampai di basecamp Selo sekitar jam 7, maka kita nggak berlama-lama di puncak Kenteng Songo. Kita langsung melanjutkan perjalanan lagi untuk turun via Selo, sekitar jam 4 sore.

Jalur Selo waktu itu sedang dalam kondisi yang kurang bagus. Mungkin karena hujan sehingga jalur pendakian juga jadi jalan air, atau mungkin juga karena suka dipakai “main perosotan” oleh para pendaki nakal, yang jelas lumayan susah nyari jalur aman dimana kaki kita harus berpijak. Karena itu, beberapa kali juga saya jatuh kepeleset, malah sampe jatuh tiduran telentang, saking udah ga ada lagi tenaga buat balancing ataupun defending. Untungnya, cederanya nggak parah-parah amat. Beberapa menit jalan agak jingklek sih, tapi lama kemalamaan nggak dirasa juga.

Actually, saya nggak begitu banyak menikmati perjalanan di jalur Selo. Mungkin karena kita berkejaran sama waktu. Saya bener-bener blank mana sabana 1, 2, pos 1, pos 2, yang saya tau kita harus tetep jalan, jalan terus secapek apapun, biar nggak kemaleman sampe basecamp. Karena kita juga udah nggak mungkin lagi ngecamp di sabana 1 atau pos 2, logistik kita udah habis, air pun habis. Kalau mau istirahat dan makan, jalan satu-satunya adalah harus sampe basecamp dulu.

Nyesel juga sebenernya, kita sama sekali nggak punya foto di jalur Selo. Sebenernya sempet ngambil beberapa foto di Sabananya, tapi apa daya, memori hp saya rusak dan foto-foto itu nggak bisa terselamatkan. Kode banget nggak sih ini dari semesta, that you have to comeback to Selo again oneday, ahaaaa! I will, I will... Merbabu terlalu indah buat kamu liat sekali doang dalam hidup kamu.


Finally, setelah jalan hampir tanpa jeda –kita cuma 2 atau 3 kali berhenti sebentar untuk minum dan mastiin jarak antar kita aman–  sekitar jam 9 malam kita sampe juga ke basecamp. Nggak kaya di Suwanting yang cuma punya satu basecamp dan nggak ada toko souvenir (selihat saya), kalo via Selo ini banyak banget basecamp yang mereka juga jual souvenir. Kita muutusin buat ngecamp di basecamp Pak Parman, yang udah baca buku Pejalan Anarki pasti udah familiar sama basecamp ini. Sesampainya di basecamp kita langsung pesen makan, ganti baju dan bersih-bersih (tanpa madi soalnya anginnya dingin bingit, mhuehehe), shalat terus langsung tidur.

Besoknya, menurut rencana sih kita jam 7 udah otw pulang. Tapi nyatanya jam 8 kita baru pada sadar. Basecamp Pak Parman ini rame banget, jadi walaupun tempatnya udah lebih nyaman daripada tenta, kita tetep aja nggak bisa pules karena sepanjang malem banyak pendaki yang baru turun atau yang baru mau naik bolak-balik keluar-masuk tempat kita tidur. Saya selepas subuh juga tidur lagi, dan yang paling terakhir dibangunin buat siap-siap packing. 

Pas kebangun, temen-temen lagi pada ngopi sambil ngobrol sama Dyos, seorang pendaki asal Cirebon. Dia baru mau naik Merapi pagi itu. Kita lumayan banyak cerita tentang perpustakaan jalanan, backpacker, dan kegiatan-kegiatan sosial. You know, orang yang punya kesamaan minat, akan cepet akrab dan merasa mereka udah berteman lama padahal itu baru pertama kalinya kita ketemu. Sampai akhirnya kita harus pamit ke Dyos, karena mobil yang kita carter untuk mengantarkan kita ke terminal Boyolali udah siap. Sebelumnya, kita sempet ngambil beberapa foto dulu di gate jalur pendakian Selo, sebagai bukti aja, supaya nggak hoax. 

Kenang-kenangan sebelum meninggalkan Selo

Sekitar setengah jam kemudian, jam 12.30 kita sampai di terminal. Setelah nego, kita bayar mobil carteran diharga 200ribu. Selanjutnya, sambil nunggu cowok-cowok nyari tiket bis Boyolali-Karawang, saya belanja oleh-oleh makanan buat orang di rumah. Setelah dapet tiket di harga 130ribu, kita nyari masjid untuk dzuhur jama’ ashar.

Sekitar jam 2 bus udah berangkat dari terminal. Tapi jalannya kayak siput dan sering ngetem lama pula. Jam 3 bus masuk terminal. Saya nanya ke Linda dan @mohparman, ini terminal mana, perasaan kok sama bentuknya kayak terminal Boyolali. Dan ternyataaaa, emang bener, busnya balik lagi coba ke terminal tadi, kampretoooossss -,,-

Jam setengah 4an bus baru jalan lagi. Jalan karena masih di weekend liburan macet pake banget, sepertinya kita kejebak arus balik. Sampe malem macet dimana-mana. Bus juga penuh, ada yang berdiri malah, banyak juga yang katanya harus beli tiket diharga 2-3 kali lipat dari biasanya. Ternyata tiket kita tuh emang yang paling murah, lainnya ada yang sampe 200-250an.

Besok paginya jam 6an, kita udah siap-siap karena bus udah deket tol karawang. Tol cikarang, lewat, tol karawang barat, lewat, tol karawang timur lewat jugaaaa. Hwaaaa, kita udah mulai panik. Dan ternyata bus ini nggak nyimpang ke Karawang, padahal jelas-jelas di tiketnya ada bacaan Boyolali-Klari. Akhirnya bus baru berenti di terminal bayangan Jatibening -Jakarta. Kita tanpa pikir panjang, langsung buru-buru turun di situ. Akibat gerasah-gerusuh nggak puguh, seplastik oleh-oleh yang saya beli di terminal Boyolali nggak ikutan turun bareng kita, dia masih betah ada di dalem bus, huhuhu *dadahdadah

Dari Jatibening kita nyambung bus ke Terminal Kampung Rambutan dulu, baru kemudian baik bus ke Karawang. Itu sumpah, buang-buang waktu, tenaga, dan uang banget. Kezellll. Nggak sampe di situ doang kesialan kita, sampe Karawang pun nggak ada grab car yang mau ngangkut kita. Untungnya ada power ranger pink a.k.a @mbaull_ yang bisa ngejemput kita. Karena dia juga cuma bisa nganter sebalik gegara telat udah harus pergi kuliah, akhirnya saya, @mbaull_ dan Linda naik motor bertiga udah kayak cabe-cabean. Udah mah banyak polisi tidur, malang sekali nasib motor @mbaull_

Tengah hari saya baru sampai rumah, sehabis isirahat dan makan dulu di Karawang. Dengan muka gosong, kaki bengkak, badan remuk. Tapi itulah seninya. Emang gitu fasenya: 1. Exciting pegen naik gunung – 2. Pas nanjak misuh-misuh ngapain gue capek-capek setengahmati naik gunung kayak begini –3. Pas sampe puncak lupa semua capek-capeknya – 4. Pas turun janji nggak mau naik gunung lagi – 5. Pas liat foto-foto dan keinget kenangan di gunung, mulai nyari gunung mana lagi yang mau didaki – 6. Kembali ke fase awal no.1

Sekarang juga lagi rindu-rindunya ngecamp di tenda di atas ketinggian. Sempet bilang, setelah Merbabu, target selanjutnya adalah Semeru dan Rinjani. Tapi kok ya setelah baca buku Jalan Pulang mupeng juga kepengen ke Gede-Pangrango. Pinginnya akhir tahun ini, tapi seertinya cuaca lagi nggak memungkinkan, bahkan Gede-Pangrango ditutup beberapa waktu yang lalu. Mudah-mudahan nanti waktu cuacanya udah bagus, ada temen yang mau diajak nanjak bareng, ada rezeki dan libur cuti juga. Bulan Februari atau Maret udah bagus lah ya cuacanya? #kode

Sincerely,
@riana_yah